Berhubung udah di kasih tau nih nanti Zuar akan memposting cerpen karyanya, Zuar bakal kasih judul juga buat kategori cerpen zuar yang di post di writion.blogspot.com.
Judulnya adalah Imaji
Untuk cerpen selanjutnya juga akan dikategorikan di posting Imaji dengan nomor berbeda sesuai urutan Zuar menulisnya,
langsung aja nih ke postingan, oke check this!
Imaji # 1
Sang Penentang Gravitasi
Penuh wajah bulan tampak di hamparan
hitam. Angin mengelus apa yang dilewatinya. Udara lembab di ruangan itu,
membuat segalanya terasa hambar. Sunyi, hanya dingin yang mengiang.
Ruangan itu telah menjadi saksi
mati. Menyaksikan perkembangan pikiran manusia yang kian pesat teralami.
Menjadi saksi akan ditemukannya suatu benda yang lahir dari pikiran dan ambisi
yang tak dapat dijelaskan. Benda yang dapat mengirimkan generasi manusia menuju
zaman yang lebih unggul. Tak dapat terbayangkan apalah jadinya bila “Alat
Pengatur Gravitasi” akan benar-benar dilegalkan untuk publik.
Di suatu saat, beberapa hari setelah
“si pengatur gaya bumi” lahir, sang penemu yang mahsyur membahana namanya,
Princeton Patrickson, bekerja di depan komputernya. Tak mampu meninggalkan anak
semata wayangnya seorang diri di rumah, dia membawa insan yang belum matang itu
ke ruangan kerjanya. Menaruhnya di kursi yang tak terlalu tinggi, bermotifkan
daun-daun yang terukir dari jati. Membiarkannya asyik dalam kebosanan.
“Ayah, apa yang ayah lakukan? Sedari
tadi aku melihatmu diam saja di depan komputer.” Sang anak bertanya dengan aksen yang sudah
sangat dikenali oleh lawan bicaranya, orang tuanya.
“Ayah sedang bekerja, nak.” Masam
wajahnya. Tak peduli apa yang ada di sekelilingnya.
“Ayah sedang mengerjakan apa?”
“Menghitung.”
“Menghitung apa?”
“Menghitung bintang.”
“Bintang ada di komputer?”
Lelah Princeton menjawab pertanyaan
anaknya. Insan muda itu membuka pikirannya untuk wawasan yang tak terbartas di
lingkungannya. Lelaki berumur 12 tahun yang IQ-nya
melebihi anak-anak yang lain.
“Aku bosan duduk di sini terus.”
Keluh si anak yang dari tadi ocehannya terus menyambung.
“Aku ingin berjalan-jalan sebentar.”
Lanjutnya.
“Kemana?” ayahnya kembali bersuara.
Walau cetus pembawaannya.
“Hanya sekitar kantor ayah saja.”
Princeton membalikkan posisi
tubuhnya. Menatap anaknya yang sudah turun dari kursi jati. Tinggal beberapa
inci lagi dari muka pintu.
“Ingat Nebula!” sang ayah hendak
melemparkan pesan.
“Jangan berjalan-jalan terlalu jauh.
Jangan pula menyentuh barang-barang ayah.”
Anak yang memiliki tinggi sebahu
ayahnya, Nebula, keluar dari ruangan yang telah lama mengisolasi dirinya.
Menutup pintu dengan perlahan sehingga tak terdengar suara decitan yang tercipta.
Berjalan dengan perlahan. Santai,
menengok sisi kiri dan sisi kanannya. Mencari sesuatu yang menarik.
Pintu kecil yang memojok di bawah
tangga mahoni menarik perhatian si pembuka wawasan. Mendekati objek itu dengan
perlahan, sama halnya dengan cara dia berjalan, menggenggam gagang pintu yang
tebal akan debu, dan memutarnya ke arah bumi menarik benda.
Hawa dingin langsung terhembus.
Menjalari pori-pori Nebula yang tegak berdiri di depan pintu pojokan tadi.
Pintu yang menjadi portal perkembangan pemikiran manusia.
Menuruni anak tangga dengan sedikit
mengendap-endap. Menyisir setiap objek dengan kornea yang tak banyak lagi
asupan cahayanya. Menarik nafas dengan teratur. Menyeimbangkan ketegangan,
ketakutan, dan hawa dingin yang menyelimuti.
Di dasar ruangan bawah tanah, Nebula
tak sengaja menemukan benda yang sangat penting bagi ayahnya saat itu. Hasil
dari pemikirannya bertahun-tahun lalu. Implementasi dari banyak ide-ide yang
dicetuskan oleh para ilmuan. Yaitu, “Alat Pengatur Gravitasi”.
Merasa takjub akan bentuk benda yang
sangat besar dengan kerlap-kerlip lampu kecil berwarnakan toska, dia
mendekatinya. Menyentuh permukaannya yang membeku. Menatap monitor yang
wajahnya penuh campuran warna. Menghapus debu dan jaring yang seakan
menghiasinya.
“Nebula, kau dibawah?! Sudah ayah
bilang, jangan pernah masuk ke ruangan ini!”
Teriakkan itu menghentakkan Nebula.
Terkesiap dirinya, dan secara refleks berlari dengan gemuruh injakan tanah
menuju asal suara.
Rumah Princeton yang sangat
sederhana. Dipenuhi banyak kenangan disaat fajar dan senja. Mencolok cat jingga
yang halus ditangkap mata. Senja yang memberikan aura, terasa bergulir begitu
lambat disekelilingnya. Semakin memberikan kesan bahwa itu adalah bangunan yang
paling anggun yang ada di Florida.
Tak ada yang dapat mengira, bahwa
ruang makan seorang profesor mahsyur, dapat bertransformasi menjadi sebuah
ruangan debat. Debat antar ayah dan anaknya.
“Nebula! Sudah berapa kali kau
mendapatkan nilai sejelek ini?!”
“Baru tiga kali ayah, satu pekerjaan
rumah, dan dua tes harian.” Telah lemas anak itu menjawabnya. Sang profesor
sangat keras amarahnya, walaupun tak ada gamparan pun yang melayang.
“Ini fisika dasar. Kau anak seorang
profesor dunia. Mengapa soal seperti ini saja kau tidak bisa?”
“Aku bisa ayah. Aku bisa
mengerjakannya.”
“Tapi, mengapa jadinya seperti ini?
Anjlok nilaimu! Memalukan!”
Ayah yang menakutkan itu menatap
kertas tes anaknya. Berusaha mencari kesalahan anaknya.
“Kau tau Hukum Newton Kedua?” sang
ayah menanyakan suatu pertanyaan yang pasti diketahui anaknya.
“Gaya yang terjadi sama dengan massa
dikalikan percepatan.”
“Nah! Kau tahu itu! Tapi mengapa kau
malah mengkombinasikannya dengan gaya normal? Pertanyaan ini tidak membutuhkan
jawaban yang kau tulis!”
“Jelas butuh, ayah! Benda itu
dipengaruhi pula oleh gravitasi bumi. Berat pun ikut berpengaruh.”
Princeton menatap anaknya. Takjub,
tetapi tetap geram. Dia menghampiri anaknya. Menyentuh kedua bahunya.
“Dengar nak, pelajaranmu di sekolah
masih sangatlah sederhana. Kau belum membutuhkan rumus gaya normal atau apapun
yang kau pikir dapat ditambahkan. Ikuti saja apa kata gurumu. Manfaatkan apa
yang mereka ajarkan. Belum saatnya kau berpikir melampaui teman-temanmu.”
Matahari sudah lama tenggelam. Beberapa
jam lalu, kebisingan masih menyelubungi seisi kota. Kini, semua terasa lenyap
dimakan purnama yang tampak mengilat. Menumpahkan cahayanya kepada
makhluk-makhluk yang tengah terlelap terselimut gelap. Kecuali seorang anak
yang sedang merenung. Mengalir sungai kecil di sudut matanya.
Di dalam hatinya, dia sangat yakin
bahwa dia tidaklah salah. Apa yang dia lakukan adalah sesuatu yang benar. Apa
yang dia lakukan, tak patut untuk disangkal.
Matanya tak jelas menatap apa. Hanya
terpaku pada suatu titik, sedangkan pikirannya melayang dalam perenungan. Kesal
menggelayuti hatinya, namun sesal lebih menyentuh nuraninya.
“Apa yang salah dengan diriku? Mengapa ayah selalu
menganggapku salah?” lirih katanya itu meluncur.
Di tengah tetesan suatu rasa yang sulit dimengerti
tak hentinya mengering, isaknya membuat Nebula tersedak. Hendak mengambil
segelas air mineral, kakinya menuruni kasur yang menjadi tempat dia merenung.
“Hah?”
Sesuatu terasa mengganjal. Ada yang aneh saat itu.
“Mengapa langkahku terasa sangat berat?”
Mencoba melangkah, dengan susah payah dia berhasil
memindahkam posisi kakinya. Sesuatu telah berubah pada Florida.
Berpikir dirinya. Di saat kesedihan
membayang-bayangi dirinya, terhentak dia melayang. Terkejut akan sesuatu yang
sangat tak biasa dia alami.
“Hah? Aku terbang?” keheranan si anak yang selalu
ingin tahu.
Nebula mengayun-ayun kakinya. Berusaha menghampiri
pintu kamarnya.
Bakk! Terjatuh
dirinya. Florida kembali normal.
“Nebula! Nebula! Kau baik-baik saja?!” ayahnya membuka
pintu dengan keras. Tak sabar untuk memastikan anaknya baik-baik saja.
“Apa yang terjadi ayah?” bertanya sembari bangkit.
“Gravitasi bumi menjadi tak beraturan. Mungkin
akibat malfungsi penemuan ayah.”
“Mengapa
semua menjadi kacau? Ayah sudah menentang hukum alam, dan jika alat itu
benar-benar rusak, apa aku, ayah, dan yang lainnya akan menjadi orang-orang
yang menentang gravitasi?” pikirnya yang sudah
terlampau jauh berandai-andai.
Ruangan lembab itu kembali menjadi
saksi. Sekarang, menyaksikan kerusakan yang diakibatkan oleh pemikiran manusia
yang jauh berkhayal.
Princeton serius dengan
pekerjaannya, mendeteksi kesalahan pada alat yang dia temukan. Malfungsi atau
lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan pada alat itu.
“Ada yang mengaktifkan alat ini.”
Bisik sang profesor. Bisikkannya itu terdengar oleh anaknya.
Nebula mengingat-ingat apa yang dia
lakukan di ruangan bawah tanah dahulu. Dia tak yakin akan perkiraannya. Dia tak
sengaja mengaktifkan alat itu disaat ayahnya meneriakinya.
Hendak memberitahukan apa yang dia
pikirkan, Nebula melangkah mendekati ayahnya. Tapi dengan tiba-tiba, gravitasi
berubah kembali. Menjadi benar-benar dekat pada titik nol, tanpa gravitasi.
“Ayah!” teriak Nebula. Dia terhentak
ke atas. Merasa tak memiliki berat.
“Tenang nak! Ayah menggenggammu!”
Princeton yang terlempar dari kursi kerjanya menggenggam tangan Nebula,
berusaha menenangkan anaknya.
Gravitasi cepat berubah. Menjadi di
atas skala sepuluh. Ayah dan anak itu terjatuh dengan keras. Menghantam tanah
hingga berdentum keras.
Tak berapa lama kemudian, gravitasi
kembali normal. Dengan sigap Princeton kembali mengutak-atik sumber masalah.
Nebula ikut bangkit. Matanya tak
sengaja menatap monitor alat penemuan ayahnya.
“Ayah, aku tahu kesalahannya!”
“Ayah tak ingin bercanda saat ini,
nak!”
“Aku tidak bercanda! Ayah lupa
memasukan indeks berat pada persamaan gaya normal. Ayah lupa mengalikan
massanya dengan gravitasi!”
Princeton segera menyadari apa
kesalahannya. Anaknya benar. Dia telah salah perhitungan.
“Baiklah, penyelesaiannya adalah….”
Princeton berkata-kata dengan sedikit gemetar.
Gravitasi kembali nol. Dengan
tiba-tiba bumi melayangkan Princeton dan Nebula. Padahal, hanya tinggal menekan
tombol ‘enter’ masalah akan terselesaikan.
Princeton berusaha menghampiri alat
pengatur gravitasi. Tetapi dia bergerak terlalu lambat. Nebula telah lebih dulu
menekan tombol konfirmasi perintah komputer dan menyelesaikan masalah dirinya,
ayahnya, dan Florida.
Keadaan kembali normal. Princeton
dan Nebula kembali terhentak. Tanah kembali menerbangkan debu-debu.
Princeton bangkit. Menghampiri
Nebula dan membantunya untuk berdiri.
“Kau hebat, nak! Kau selesaikan
masalah ini!”
“Ya ayah.”
“Oh, ayah tahu ayah telah menyakiti
hati anak ayah sendiri. Sekarang ayah tahu, bahwa kau tak patut untuk
diremehkan, Nebula Patrickson.” Princeton segera menyadari kesalahan yang telah
ia lakukan sejak lama. Tindakkan anaknya mengetuk hatinya demikian keras
sehingga luluh sudah keegoisan yang selama ini menyelubungi hati sang profesor.
“Aku tak sakit hati ayah. Aku hanya
ingin ayah tahu, aku dapat menyelesaikan masalahku dengan caraku sendiri, lebih
baik dari ayah dan dari orang dewasa yang lainnya.”
Sungguh hangat jadinya ruangan
dingin itu. Pembuktian seorang anak kepada ayahnya. Pembuktian bahwa usia tak
dapat membatasi kemampuan seseorang dalam mengatasi suatu permasalahan. Nebula
membuktikannya. Florida terselamatkan oleh seorang anak berusia 12 tahun.
TAMAT
by Zuar
Oke, sebenarnya ini karya saya waktu disuruh buat cerpen Bahasa Indonesia di kelas, hehe. Semoga bermanfaat bagi kawan-kawan. Dan ingat pesan dari cerpen ini,
"Jangan melihat siapa yang mengatakannya, tapi pahamilah apa yang ia katakan juga yang ia lakukan."